Upilku garing
lebih cepat! Ini adalah kesan pertamaku begitu tiba di Sydney. Nggak hanya
shock culture disini. Aku juga shock weather. Yah, it is commonly happen buat
semua orang yang datang kemari. Terlebih datang dari Negara tropis seperti
Indonesia ke Negara empat benua. Terutama dan paling utama, aku tinggal di
Surabaya yang amboy panasnya. Bayangkan, 28 derajat di Surabaya aja rasanya
udah sepoi-sepoi.
Ketika aku tiba
di Sydney, kota ini memasuki penghujung musim semi dengan suhu udara 12
derajat. Wussshhhhh…. Angina dingin masuk melalui setiap celah bajuku dan
merasuk hingga tulang-tulangku. Aku yang belum siap dengan jaket langsung
kebingungan karena dingin. Melihat tingkahku yang ‘ndeso’, pamanku bertanya.
Sejurus kemudian dia pun tertawa, “ini panas lho. Belum kalau winter”
Tak peduli aku yang kedinginan, ia berangsur pergi bergegas keluar bandara. Ia yang menjemputku ketika sampai Sydney. Benar saja, orang-orang sini bilang kalau udara saat itu terbilang panas. Setelah musim semi, musim panas akan siap menggantikannya. Ah… kalau mereka bilang ini panas, aku tak heran. Orang-orang berlalu lalang dengan tanpa jaket, atau malah memakai baju tanpa lengan, dan yang parah hanya memakai bra atau kutang, dan celana yang super pendek, yang mungkin sudah aku jadikan gombal di rumah. Gila mereka!
Satu lagi, inilah gejala umum yang orang Indonesia rasakan begitu sampai Australia terutama Sydney. Kulit kering dan gatal-gatal luar biasa. Hand body tak mempan rasanya. Masih saja mengering seperti sawah kena paceklik. Penyakit ndeso ku pun kumat. Bibir kering, pecah-pecah, bahkan berdarah. Perih. Sangat perih. Aku benci sudah kalau bibir sakit setiap mangap. Rasanya nggak pede dan tidak bisa senyum dengan ikhlas. Rasanya seluruh kebahagianku tersita jika aku tak bisa senyum. Pasti mukaku jelek. Ugh! Beberapa hari saat aku menderita penyakit adaptasi ini, aku tak pernah mau berkaca. Tak sudi melihat diriku sendiri.
Tak peduli aku yang kedinginan, ia berangsur pergi bergegas keluar bandara. Ia yang menjemputku ketika sampai Sydney. Benar saja, orang-orang sini bilang kalau udara saat itu terbilang panas. Setelah musim semi, musim panas akan siap menggantikannya. Ah… kalau mereka bilang ini panas, aku tak heran. Orang-orang berlalu lalang dengan tanpa jaket, atau malah memakai baju tanpa lengan, dan yang parah hanya memakai bra atau kutang, dan celana yang super pendek, yang mungkin sudah aku jadikan gombal di rumah. Gila mereka!
Satu lagi, inilah gejala umum yang orang Indonesia rasakan begitu sampai Australia terutama Sydney. Kulit kering dan gatal-gatal luar biasa. Hand body tak mempan rasanya. Masih saja mengering seperti sawah kena paceklik. Penyakit ndeso ku pun kumat. Bibir kering, pecah-pecah, bahkan berdarah. Perih. Sangat perih. Aku benci sudah kalau bibir sakit setiap mangap. Rasanya nggak pede dan tidak bisa senyum dengan ikhlas. Rasanya seluruh kebahagianku tersita jika aku tak bisa senyum. Pasti mukaku jelek. Ugh! Beberapa hari saat aku menderita penyakit adaptasi ini, aku tak pernah mau berkaca. Tak sudi melihat diriku sendiri.
Untuk kulit, orang-orang menyarankan memakai sorbolen, sejenis krim
pelembab khas orang sini (karena murah juga wkwkw) setiap setelah menyentuh
air. Entah mengapa, setelah menyentuh air, kulit lebih cepat mengering. Tapi
itu bukan karena kualitas airnya yang buruk ya. Lha wong disini kita minum
masak mandi dari sumber air yang sama kok.
Eits, satu lagi
yang cepat mengering: UPIL. Hidung sepertinya lebih cepat memproduksinya.
Begitu cepat mengering. Keras sekali. Kalau bernapas selalu ada rasanya yang
mengganjal di hidungku. Aku pura-pura memencet hidung untuk mengira-ngira
seberapa banyak upil dihidung. Di saat tak banyak orang, aku segera mencungkil
mereka sekuat tenaga karena mereka ternyata banyak dan sangat keras. Aku kaget.
Warnanya tak seperti upil Indonesia. Warnanya bukan lagi kuning atau abu-abu
atau hijau. Tapi coklat. Lebih pekat lagi, hitam! Adamerahnya pula. Darah?
Bagaimana bisa ada darah?
Seringkali iseng,
kuperhatikan betul-betul wujud si upil. Benar, rupanya ada darah. Darah yang
mengering. Aku sadar begitu setiap upilku serasa mengeras, hidungku pun terasa
nyeri dan perih. Ouh, mungkin karena pengaruh cuaca.
Kuceritakan
pengalaman ini pada temanku. Ah, rupanya ia juga mengalamai hal yang sama.
Bahkan lebih parah, hidungnya sampai berdarah-darah. Mungkin, dia lebih ndeso disbanding
aku ya…. :p
Wkwkwkwwk sampe upilpun butuh adaptasi ya :D
ReplyDeletehahaha hayati suka ngupil
ReplyDelete