Sunday 6 November 2016

AWAS UPIL GARING!




Upilku garing lebih cepat! Ini adalah kesan pertamaku begitu tiba di Sydney. Nggak hanya shock culture disini. Aku juga shock weather. Yah, it is commonly happen buat semua orang yang datang kemari. Terlebih datang dari Negara tropis seperti Indonesia ke Negara empat benua. Terutama dan paling utama, aku tinggal di Surabaya yang amboy panasnya. Bayangkan, 28 derajat di Surabaya aja rasanya udah sepoi-sepoi.

Ketika aku tiba di Sydney, kota ini memasuki penghujung musim semi dengan suhu udara 12 derajat. Wussshhhhh…. Angina dingin masuk melalui setiap celah bajuku dan merasuk hingga tulang-tulangku. Aku yang belum siap dengan jaket langsung kebingungan karena dingin. Melihat tingkahku yang ‘ndeso’, pamanku bertanya. Sejurus kemudian dia pun tertawa, “ini panas lho. Belum kalau winter”

Tak peduli aku yang kedinginan, ia berangsur pergi bergegas keluar bandara. Ia yang menjemputku ketika sampai Sydney. Benar saja, orang-orang sini bilang kalau udara saat itu terbilang panas. Setelah musim semi, musim panas akan siap menggantikannya. Ah… kalau mereka bilang ini panas, aku tak heran. Orang-orang berlalu lalang dengan tanpa jaket, atau malah memakai baju tanpa lengan, dan yang parah hanya memakai bra atau kutang, dan celana yang super pendek, yang mungkin sudah aku jadikan gombal di rumah. Gila mereka!

Satu lagi, inilah gejala umum yang orang Indonesia rasakan begitu sampai Australia terutama Sydney. Kulit kering dan gatal-gatal luar biasa. Hand body tak mempan rasanya. Masih saja mengering seperti sawah kena paceklik. Penyakit ndeso ku pun kumat. Bibir kering, pecah-pecah, bahkan berdarah. Perih. Sangat perih. Aku benci sudah kalau bibir sakit setiap mangap. Rasanya nggak pede dan tidak bisa senyum dengan ikhlas. Rasanya seluruh kebahagianku tersita jika aku tak bisa senyum. Pasti mukaku jelek. Ugh! Beberapa hari saat aku menderita penyakit adaptasi ini, aku tak pernah mau berkaca. Tak sudi melihat diriku sendiri. 

Untuk kulit, orang-orang menyarankan memakai sorbolen, sejenis krim pelembab khas orang sini (karena murah juga wkwkw) setiap setelah menyentuh air. Entah mengapa, setelah menyentuh air, kulit lebih cepat mengering. Tapi itu bukan karena kualitas airnya yang buruk ya. Lha wong disini kita minum masak mandi dari sumber air yang sama kok.




Eits, satu lagi yang cepat mengering: UPIL. Hidung sepertinya lebih cepat memproduksinya. Begitu cepat mengering. Keras sekali. Kalau bernapas selalu ada rasanya yang mengganjal di hidungku. Aku pura-pura memencet hidung untuk mengira-ngira seberapa banyak upil dihidung. Di saat tak banyak orang, aku segera mencungkil mereka sekuat tenaga karena mereka ternyata banyak dan sangat keras. Aku kaget. Warnanya tak seperti upil Indonesia. Warnanya bukan lagi kuning atau abu-abu atau hijau. Tapi coklat. Lebih pekat lagi, hitam! Adamerahnya pula. Darah? Bagaimana bisa ada darah?

Seringkali iseng, kuperhatikan betul-betul wujud si upil. Benar, rupanya ada darah. Darah yang mengering. Aku sadar begitu setiap upilku serasa mengeras, hidungku pun terasa nyeri dan perih. Ouh, mungkin karena pengaruh cuaca.

Kuceritakan pengalaman ini pada temanku. Ah, rupanya ia juga mengalamai hal yang sama. Bahkan lebih parah, hidungnya sampai berdarah-darah. Mungkin, dia lebih ndeso disbanding aku ya…. :p

2 comments: