Wednesday 10 July 2019

Cradle Mountain, Destinasi Wajib di Tasmania. Sebagus Apa, sih?



 
Dzaki, Faqih, Aku, Tifani. Mereka masih single, guys :)
Ladies and Gentlemen, welcome to the last stop, Dove Lake. 
Setelah sampai didepan danaunya, aku teringat dengan negeri dongeng. Ternyata, dia nyata.

Perjalanan dari Bridgewater, tempat tinggal kami, menuju Cradle Mountain memakan waktu hampir 4 jam menggunakan mobil. Kami akan naik gunung, turun, lalu naik lagi. Jalannya mengingatkanku pada Tawangmangu, daerah pegunungan di Karanganyar, Jawa Tengah.

Aneh, aku ini sudah hampir setengah tahun tinggal di Tasmania, tapi lagaknya masih kayak turis. Sedikit-sedikit ‘Woooooowwww….’ Sedikit-sedikit ‘Subhanalloh….’  Yang awalnya berpikir perjalanan panjang akan sangat membosankan, pada kenyataannya aku tidak berhenti menatap keluar jendela. Memasuki daerah pegunungan, kami disambut kabut tebal yang menghalangi pandangan. Jalanan berkelok dengan jarak pandang terbatas, mengharuskan mobil ini sedikit lebih pelan. Memang, hari masih pagi ketika kami pergi. Jangankan di daerah pegunungan, di kota saja terkadang kabut tebal masih ada sepanjang pagi.

Perlahan kabut tebal menghilang. Pemandangan menakjubkan lainnya hadir. Bukan kali pertama aku melihat perbukitan dengan rumah-rumah kuno yang jarang letaknya. Sapi-sapi menhambur mencari makan di hamparan rerumputan hijau. Semakin kesana, rumput terlihat semakin putih dan putih. Lagi-lagi aku bilang WOW. Tak hanya rumput, dahan, ranting, bahkan atap rumah membeku bak diselimuti salju. Waaaahh… bisa saja kita bertemu ‘si putih lembut’ ini nanti disana. Percaya nggak, aku belum pernah megang salju. Kalau lihat, ya pasti pernah dong. Haha

Daerah-daerah yang kami lewati benar-benar membuatku terjaga. Bukannya ndeso, tapi emang beneran bagus, lho! Bothwell, Great Lake, Miena semuanya terlihat klasik, dingin, dan misterius.  Mirip seperti rumah-rumah kuno yang ada di novel atau film klasik Eropa. Eh, itu ndeso ya? Biarin, deh! :D

Perjalanan kami agak mengular karena berhenti mencari toilet umum di daerah Great Lake. Kami menemukan pom bensin kecil yang sepi dengan toko dibelakangnya. Ada dua anjing besar yang menyambut kami setelah turun mobil, membuntuti sampai toilet. Aku dan temanku sampai hampir terpleset karena lari menghindarinya. Waktupun mengular lagi, sebab sehabis buang air kecil kami malah sibuk foto. Yaaaa gimana ya… bagus banget sih.
depan pom bensin

Sesampai di gerbang masuk National Park, kami cukup mengeluarkan National Park Pass dari dalam mobil lalu mengarahkannya ke kamera agar bisa masuk ke dalam. Namun sayang, kamera tidak mengenalinya sehingga kami harus menuju Tourist Information Centre untuk menanyakan hal ini.

Kami putar balik untuk menuju kesana. Petugas menyarankan untuk memperpanjang masa berlaku atau membayar per orangnya. Sayang sekali. Padahal masa berlakunya masih ada. Tapi, yasudahlah  -_-

Ada dua opsi yang bisa kami pilih. Membayar sesuai dengan jumlah orang, atau memperpanjang masa berlaku. Mau tidak mau kami harus ikut rombongan tour bus dengan membayar $16.50 per orang. Tapi, karena kami sebelumnya sudah pernah punya National Park pass, maka harga menjadi $9 per orang. Harga ini sudah termasuk perpanjangan masa berlaku selama 8 minggu kedepan.

Akan ada tour bus yang membawa rombongan wisatawan setiap 20 menit. Penuh atau tidak, mereka tetap jalan. Dove Lake adalah tempat pemberhentian yang kami ingn tuju. Sebelum menuju kesana, ada juga 3 pemberhentian yang nggak kalah keren. Tapi kami enggan turun satu persatu, mengingat hari itu jam sudah menunjukkan pukul 2PM. Sedangakan bus terakhir untuk menuju information centre adalah pukul 4PM.

Tour guide dalam bus adalah supir bus itu sendiri. Sepanjang perjalanan, tidak ada penumpang yang berbicara karena khusyuk mendengarkan penjelasannya. Jalanan menuju Dove Lake sempit dan berliku. Kalau bertemu bus dari lawan arah, salah satu dari kami harus mengalah.

Setelah 20 menit, sampailah kami di tujuan, Dove Lake! Kami menghambur cepat begitu bus berhenti. Aku berlari seperti anak kecil kearah danau seperti anak kecil yang habis ditinggal ibunya ke toilet. Aku…aku… rasanya seperti mimpi. Menyaksikan keindahan ciptaan sang Kuasa didepan mata, mengingatkanku akan satu tempat yang selama ini aku impikan, Swiss!!!
tiket bus



Tau nggak, Tasmania punya julukan Switzerland of the South. Belum jelas siapa yang memberi julukan tersebut, tapi yang pasti keduanya memang mirip. Danau berarir bening dikelilingi padang ilalang dan dipeluk gunung-gunung berpuncak lancip ini, walau tak persis namun sama dengan yang ada di Swiss. Sayang, suhu -1o saat itu ternyata tak cukup dingin untuk menghasilkan salju. Eh, tapi ada salju sedikit diujung gunungnya. Pertengahan Juli hingga awal Agustus, bisa jadi moment yang pas buat kalian kemari yang ingin main salju.  Tak puas melihat dari bawah, kami mencoba mendaki sepuluh menit menuju Lookout point. Dan, inilah hasilnya.
pemandangan dari look out point


Cradle mountain emang salah satu wisata primadona kalau kalian ke Tasmania. Buat yang pingin main salju, cek selalu weather forecast setempat. Pastikan ada gambar salju dihapemu biar nggak kecewa kalau sudah sampai sini. Persiapkan perlengkapan seperti jaket tebal yang anti air, sepatu khusus, celana (jangan cotton atau denim), sarung tangan, camilan, dan air minum. Sebelum berangkat, jangan lupa isi bensin dulu rek. Kalau kalian pakai rute punyaku, Cuma ada dua pom bensin sepanjang perjalanan, di daerah Bothwell dan Great Lake. Happy Winter Holiday!





Saturday 29 June 2019

Pulang ke Indonesia Cuma Mau Operasi Gigi!!!

Welcome to my awkward blog, everyone!

Bulan Juli 2017 lalu, aku akhirnya sambang rumah nan jauh disana selama hampir 10 bulan merantau. Kalau nggak karena masalah gigi yang mendesak, mungkin agenda pulang masih jauh dari rencana. Sebenernya, aku udah tau sih kalo gigi geraham belakang bawah bolong. Tapi aku biarin aja. Gitu deh orang Indonesia, kalo belum parah banget nggak ditangani kan, ya? 🙋

Hingga akhirnya masa itupun datang. Banyak faktor yang dengan cepatnya memperparah keadaan gigiku disini. Pertama, harga coklat murah. Murah lah ketimbang Indonesia. Sebulan sekali (ngitung banget deh!), nggak tahu pastinya sih haha...pastilah ada yang namanya discount di supermarket sini. Dan happy nya coklat jadi komoditas yang paling sering didiskon. Apalagi menjelang hari natal, tahun baru, hari ibu, hari ayah, dan paskah. Mana tahan liat coklat murah! Jadilah sering beli coklat. Nggak sering juga, tapi cemilan wajib :)

Secondly, pengaruh cuaca. Sydney punya cuaca yang bisa dibilang ekstrem. Kalo panas, panas bangeeeet. Dingin juga dingiiiiiin buanget. Maret lalu, angin mulai kenceng. Summer lewat. Autumn datang. Suhupun turun. Gigi mulai gemeletukan. Bolongnya pun terasa. April, aku  periksa ke dokter gigi. Dan apa katanya??!!!! Gigi kamu nggak bisa dicabut. Apalagi ditambal. Percuma! Kalo dicabut harus pakai spesialis. Dengan sedihnya saya mendengar itu semua. Dia cuma ngomong gitu dan aku harus bayar AUD 60 atau 600ribu rupiah! Well, aku tau kalo dokter gigi dan mata menjadi dokter termahal disini. Ahh, aku bertahan aja dengan minum obatnya (Neurofen dan Amoxilin).

Mei, hasratku untuk segera melepaskannya tak bisa kubendung lagi. Semua ini harus ku akhiri. Aku ingin dia segera pergi dari hidupku!!! Jeng jeng jeng jeng!!! Singkat Cerita, Mei gigiku di x-ray dan memang keadaannya parah. Bolong, gusinya muncul dari bolongnya itu, pinggirnya krowak, akarnya ngajak perang sama syaraf, dan itu sakiiiiitttt. Nggak bener katanya kalo lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Biaya operasi gigi sini sekitar AUD 2,000 atau 20 juta! Satu gigi! Hmmm... apa aku pulang ke indonesia aja ya?

Aku mulai mencari-cari informasi tentang operasi gigi di beberapa rumah sakit dan klinik yang ada di Surabaya. Dari semuanya, kuingat tarif termurah adalah 5 juta rupiah. Setelahnya adalah mahal, mahal banget, dan muahaaaallll poooolll. Bayangkan, salah satu rumah sakit di daerah Surabaya Timur bilang, kalau operasi gigi diwajibkan rawat inap minimal 3 hari dengan total biaya sekitar 20 juta! Guendeeeng rek!

Kuceritakan hal ini pada orang tuaku. Beberapa hari kemudian, bapak dapat info dari temannya yang tinggal di Jogja, kalau operasi gigi disana biayanya ga sampe sejuta. Wow! Daripada 20 juta kuhabiskan hanya itu satu gigi, mending pulang aja sekalian deh. Uang segitu udah bisa dapat tiket PP, operasi gigi dan obatnya, cabut benangnya, kulinerannya (eh, kan lagi sakit gigi :p ), dan buat biaya selama di indo. Yes!
           
Setelah searching, aku dapat tiket murah ke Surabaya via Singapura pake Scoot Airline (eh nggak promosi lho). Tiket PP cuma Rp. 4.100.000 lho! Sebagian orang mungkin nggak mau pake maskapai ini. Karena dari Singapura ke Indonesia nya itu pake Tiger air. Pesawat kecil, slim, dan kalo nabrak awan kerasa :D Mungkin juga karena maskapai ini belum sepopuler Air Asia bagi orang Indonesia.

19 Juli 2017, aku pulang. Seminggu kemudian aku ke Jogja sama bapak. Kita tiba di Rumah Sakit Prof Soedomo yang katanya sering dipake praktek anak UGM. Setengah jam menunggu, aku dipanggil. Dokter spesialisnya waktu itu ada 3, cowok semua. Aku nggak ingat namanya siapa. Karena dokternya cakep, sebut saja Dokter Cakep :P atau DC aja ya.

DC menyarankan agar gigiku di x-ray. Karena aku sudah punya, kuperlihatkan padanya dan dia sangat terkejut. Dia amati baik-baik gambarnya. diputer, diliat lagi lalu bilang ,"Kok gambarnya bagus banget ya? kamu x-ray dimana?" Tapi aku tak ingin menjawab, takut dibilang sombong. Eh, takut tarifnya dimahalin karena dari Aussie hehe

"Ooooh pantes! Lha wong Ostralia ogh! (logat khas)" katanya yang disusul berbagai macam pertanyaan tentang Aussie.
"Ngapain jauh-jauh pulang? Disana nggak ada dokter gigi po?" ledeknya
"Ada."
"Mesti mahal, makanya kamu pulang." Mukanya serius
"Iya dok"
"He cah, aku entuk pasien soko Aussie," (He guys, aku dapat pasien dari Aussie) kata DC heboh kepada dua temannya.

Setelah percakapan panjang, aku diantar ke ruang operasi yang sangat amat biasa. Maksudnya nggak kayak ruang operasi. Pintunya cuma setengah. Kalau njerit sampai lantai bawah denger kali ya. Tapi, ruangan biasa gitu aja udah bikin nerveous rek!

Aku duduk di kursi, lalu mukaku ditutup pakai kain warna biru. Yang terbuka bagian mulutnya. Setelah obat bius bekerja, datang beberapa mahasiswa perempuan yang ternyata lagi praktek. Jadilah gigiku sebagai bahan praktek mereka. Sambil ngubek-ngubek gigi, DC njelasin ke mahasiswanya. Satu jam kemudian, gigi geraham itu lepas. Alhamdulillah. Bayarnya cuma 500 ribu, obatnya 27 ribu, dan nggak pake nginep.



Sepulang dari Rumah Sakit, aku minta makan karena lapar habis teriak-teriak. Guys, dibius aja masih kerasa! Aku minta makanan berkuah agar tak perlu mengunyah. Soto Jogja di area wisata Malioboro akhirnya menjadi pilihan bapak. Lihat bapak dhahar (makan) kok iri banget rasanya. Mana ada sate usus, sate puyuh, sate kulit ayam. Aaaahhh aku juga pengen. Sambil menahan rasa sakit, aku berhasil menghabiskan 2 mangkuk soto beserta teman-temannya. Hahahaha

Sekian yang bisa aku ceritakan. Ini murni dari pengalaman ya! Pesanku, kalau mau ke Australia, cek gigi dulu ya. Daripada meringis bayar dokter gigi nya ya kan?

Konsultasi tanpa tindakan ke dokter gigi di daerah Bankstown : AUD60
Cabut gigi : AUD200
Operasi gigi : AUD 2,000
*Harga tahun 2017 :)

              

Sunday 6 November 2016

AWAS UPIL GARING!




Upilku garing lebih cepat! Ini adalah kesan pertamaku begitu tiba di Sydney. Nggak hanya shock culture disini. Aku juga shock weather. Yah, it is commonly happen buat semua orang yang datang kemari. Terlebih datang dari Negara tropis seperti Indonesia ke Negara empat benua. Terutama dan paling utama, aku tinggal di Surabaya yang amboy panasnya. Bayangkan, 28 derajat di Surabaya aja rasanya udah sepoi-sepoi.

Ketika aku tiba di Sydney, kota ini memasuki penghujung musim semi dengan suhu udara 12 derajat. Wussshhhhh…. Angina dingin masuk melalui setiap celah bajuku dan merasuk hingga tulang-tulangku. Aku yang belum siap dengan jaket langsung kebingungan karena dingin. Melihat tingkahku yang ‘ndeso’, pamanku bertanya. Sejurus kemudian dia pun tertawa, “ini panas lho. Belum kalau winter”

Tak peduli aku yang kedinginan, ia berangsur pergi bergegas keluar bandara. Ia yang menjemputku ketika sampai Sydney. Benar saja, orang-orang sini bilang kalau udara saat itu terbilang panas. Setelah musim semi, musim panas akan siap menggantikannya. Ah… kalau mereka bilang ini panas, aku tak heran. Orang-orang berlalu lalang dengan tanpa jaket, atau malah memakai baju tanpa lengan, dan yang parah hanya memakai bra atau kutang, dan celana yang super pendek, yang mungkin sudah aku jadikan gombal di rumah. Gila mereka!

Satu lagi, inilah gejala umum yang orang Indonesia rasakan begitu sampai Australia terutama Sydney. Kulit kering dan gatal-gatal luar biasa. Hand body tak mempan rasanya. Masih saja mengering seperti sawah kena paceklik. Penyakit ndeso ku pun kumat. Bibir kering, pecah-pecah, bahkan berdarah. Perih. Sangat perih. Aku benci sudah kalau bibir sakit setiap mangap. Rasanya nggak pede dan tidak bisa senyum dengan ikhlas. Rasanya seluruh kebahagianku tersita jika aku tak bisa senyum. Pasti mukaku jelek. Ugh! Beberapa hari saat aku menderita penyakit adaptasi ini, aku tak pernah mau berkaca. Tak sudi melihat diriku sendiri. 

Untuk kulit, orang-orang menyarankan memakai sorbolen, sejenis krim pelembab khas orang sini (karena murah juga wkwkw) setiap setelah menyentuh air. Entah mengapa, setelah menyentuh air, kulit lebih cepat mengering. Tapi itu bukan karena kualitas airnya yang buruk ya. Lha wong disini kita minum masak mandi dari sumber air yang sama kok.




Eits, satu lagi yang cepat mengering: UPIL. Hidung sepertinya lebih cepat memproduksinya. Begitu cepat mengering. Keras sekali. Kalau bernapas selalu ada rasanya yang mengganjal di hidungku. Aku pura-pura memencet hidung untuk mengira-ngira seberapa banyak upil dihidung. Di saat tak banyak orang, aku segera mencungkil mereka sekuat tenaga karena mereka ternyata banyak dan sangat keras. Aku kaget. Warnanya tak seperti upil Indonesia. Warnanya bukan lagi kuning atau abu-abu atau hijau. Tapi coklat. Lebih pekat lagi, hitam! Adamerahnya pula. Darah? Bagaimana bisa ada darah?

Seringkali iseng, kuperhatikan betul-betul wujud si upil. Benar, rupanya ada darah. Darah yang mengering. Aku sadar begitu setiap upilku serasa mengeras, hidungku pun terasa nyeri dan perih. Ouh, mungkin karena pengaruh cuaca.

Kuceritakan pengalaman ini pada temanku. Ah, rupanya ia juga mengalamai hal yang sama. Bahkan lebih parah, hidungnya sampai berdarah-darah. Mungkin, dia lebih ndeso disbanding aku ya…. :p

Saturday 5 November 2016

Jawaban Sebuah Penantian

Tinggal di negara maju sudah menjadi impianku sejak kelas enam SD. Sejak guruku menerangkan tentang Eropa, hatiku tertambat pada sebuah negeri dengan pegunungan yang mengelilinya, Swiss! Aku tulis besar-besar lima huruf itu di dinding kamar tidur sejak SMP hingga kini. Aku ingin belajar bahkan tinggal di sana. Namun sayang, belakangan aku tahu bahwa jurusan yang aku minati tidak populer di sana. Jurnalistik lebih condong pada Amerika Serikat dan Inggris. Yah, aku memutuskan untuk mengganti tujuan belajarku di Inggris. Adapun Swiss, tetap nomor satu di hatiku.

Dua belas tahun berselang, belum juga ada tanda-tanda aku akan keluar negeri. Sudah puluhan kali pameran pendidikan Eropa aku datangi. Aku comot brosur-brosurnya. Aku amati betul-betul isinya: keindahan alamnya, kokohnya bangunan, orang-orang dari berbagai ras didunia berkumpul jadi satu, semua itu jadi kombinasi yang pas yang aku impikan.

Berhubung aku belum S1, aku menyusun rencana bagaimana caranya agar bisa menjadi sarjana. Tak mudah rasanya. Ini masalah krusial: ekonomi. Aku bisa saja langsung ambil Bachelor degree ke negara manapun. Asal tunjuk, berangkat. Tapi, itu kalau kantongku tebal, ya kan?

Nyatanya Alloh punya rencana lain. Ia mempertemukanku dengan seorang laki-laki yang menjanjikanku berjuang di Australia. Melalui perantara teman ayahku, kami pun bertemu pada bulan Agustus 2015. Proses pertemuan lancar hingga akhirnya pada 15 Oktober 2015, kamipun menikah. Banyak orang bilang aku terlalu cepat memutuskan dan berdasarkan iming-imingnya, Australia. Semua bahkan tahu bahwa aku memang sangat ingin ke luar negeri. Kuperjelas selalu, bahwa aku memilihnya karena dasar testimoni kerabat dan keluarganya bahwa ia orang yang baik dan kuat agamanya. Orang tua setuju, lalu apalagi? Ia belum bekerja waktu itu. Ia dari keluarga yang teramat sederhana. Tampangpun biasa saja. Mengenai Australia, aku anggap itu perantara Alloh untuk mengabulkan doaku!

Setelah menikah kami pun bergegas mengurus segala keperluan untuk ke sana. Aku lah yang akan berangkat duluan dengan visa pelajar. Proses sempat alot ditengah jalan karena terkendala sponsor. Suamiku mempunyai paman yang sudah Permanent Resident disana. Hal itu memudahkan siapapun dari saudaranya untuk bisa sekolah di Australia. Dalam arti dipermudah jika kita mempunyai saudara yang sudah tinggal di Aussie.

Berhubung si paman telah dua kali menjadi sponsor, maka tidak bisa lagi. Melalui rayuan panjang nan melelahkan, akhirnya pamanku yang bekerja di Badan Lingkungan Hidup Surabaya menjadi sponsornya.

Tabungan yang dimiliki pamanku harus lebih dari 400juta. Dan nominal itu minimal ada di rekening tiga bulan terakhir. Alhasil aku menunggu tiga bulan dengan berdoa. Menunggu memang pekerjaan yang membosankan!

Paspor, rekening sponsor, slip gaji, surat rekomendasi kerj, dan sertifikat TOEFL sudah selesai. Di bulan Juli berkasku siap dikirim ke imigrasi. Namun berita buruk menghampiri. Imigrasi Australia tak lagi menerima TOEFL. Maka, penderitaan pun dimulai. Tiga minggu aku berkutat dengan buku dan latihan soal IELTS demi skor 5.5 . Argh, terakhir kali aku membacanya di bulan November 2015, saat les di kampung Inggris, Pare, Kediri. Saking stressnya, berat badanku pun turun. Aku syukuri bagian ini.

Usai melalui tes IELTS pada 30 Agustus 2016, aku harus menunggu tiga minggu untuk menunggu hasilnya. Aku pasrah karena tidak terlalu yakin di bagian speaking. Jikalau nilai IELTS ku tak sesuai harapan, aku siap stress lagi!

Aku tak percaya saat ternyata nilai IELTS ku di atas yang kuharapkan. Bahkan nilai speaking dan writing menjadi dua skor tertinggi. Perasaan tak percaya, haru, bangga campur aduk. Itu akhirnya aku tinggal menunggu kantor kedutaan telepon.

Mengurus visa Australia aku akui tidak mudah. Jalan panjang, berliku, dan stress sempat kurasakan. Di detik-detik terakhir akan wawancara dengan embassy, menjadi waktu penting yang tidak bisa disambi-sambi. Aku rela menjadi pengangguran dan tak meliput untuk menanti sebuah jawaban panjang ini. Sampai akhirnya kedutaan telpon saat aku sedang tidur siang! Bayangkan, aku terbangun dari tidur karena terganggu dengan dering hapeku. Tapi setelah melihat siapa yang telepon, jantungku berdetak lebih cepat dan kantuk seketika hilang, macam orang jatuh cinta. Aku sigap dan tarik napas sebelum bilang 'halo'.

Satu-satu pertanyaan diluncurkan dengan bahasa Inggris. Tibalah pada pertanyaan terakhir yang jawabnnya tidak aku lupakan. Ia menanyakan mata kuliah apa yang nantinya akan aku pelajari. Well, semua panduan baik pertanyaan maupun jawaban sudah aku pelajari dari agenku. Syukurku tak terbilag karena kertas panduan itu ada tepat disebelah kasur, tempat aku tidur. Begitu dapat pertanyaan itu, aku yang belum hapal membuka kertas pelan-pelan pada halaman mata kuliah. Dengan suara terbata-bata aku baca 16 credits itu supaya terdengar sedang mengingat-ingat. Wawancara usai. Aku harus menunggu 21 hari kerja untuk kepastiannya.

Hari-hari galau kulalui dengan murung. Aku membayangkan bagaimana hidupku jika tak jadi berangkat. Apa kata teman dan saudaraku? Pasti mereka tertawa memperolokku. Dibilangnya aku tukang ngimpi. Bekerja? Aku lelah mengirim surat lamaran. Masih mau freelance? ini tak pasti meski tetap ada uang dari suami. Kacau, benar-benar kacau aku saat itu. Bahkan suatu hari aku terlibat pertengkaran dengan ibu karena kesalahpahaman. Aku bicara seenakku tanpa dasar logika yang ujungnya membuat ibu tak mau bicara padaku sampai lima hari, sampai pengumuman!

Yah, pagi itu tepat 5 Oktober 2016, Agen mengirim pesan via Whatsapp. Kabar gembira yang kutunggu-tunggu. Saking tak percayanya, aku baca berulang kali. Aku melompat girang dengan suara lantang. Ibuku yang masih kesal denganku, tiba-tiba bicara padaku. Ah, aku senang sekali. "Belanjanya kapan, mepet nih," kata ibu padaku.

Aku punya waktu 8 hari untuk mempersiapkan semua. Tak perlu bawa baju banyak karena disana disediakan. Sepupu suamiku yang sudah di Sydney bekerja di pabrik pemotongan baju. Setiap ada baju yang masih bagus dan layak selalu ia bawa pulang. Entah untuk suaminya, anaknya, siapapun yang ada. Dia bilang, bajunya banyak.

Yang paling bingung adalah saudara-saudaraku. Mereka ingin memberiku makanan Indonesia. Pasarah saja aku terima aneka makanan itu: pepes, tahu goreng, tempe kering, aneka bumbu jadi, bumbu pecel. Karena keterbatasan bagasi, aku mengalah. Baju-bajuku kupindah ke tas jinjing. Berat juga. Koper paling besar penuh dengan makanan. Camkan itu, makanan! Ditimbang bapak, beratnya mencapai 27 kilo! Okelah, daripada kelebihan muatan.

Hari itu pun tiba. Sebuah taksi online meluncur dan berhenti tepat di depan rumahku. Hujan deras bagai menyimbolkan perasaanku saat itu. Aku tak tahan lagi. Aku menangis di depan ibu karena aku banyak dosa. Kulihat dengan ekor mata, ibu mengusap matanya yang basah berkali-kali. Ini pengalaman pertamaku pergi sangat jauh dari keluarga.

Mereka mengantarku sampai gerbang keberangkatan. Tak ingin tertinggal pesawat, aku segera masuk ke bagian penukaran tiket. Sebenarnya masih satu setengah jam lagi pesawatku berangkat. Karena aku masih ingin berlamap-lama menatap wajah ibu, ayah, adik, dan suamiku. Kakakku tak ikut karena tak ada yang menjemput. Aku berpamitan melalui telepon saja.

Hatiku gusar dan deg-degan sekali. Sudah ada di pelupuk mataku bayangan tentang Australia. Benua empat musim yang aku sendiri tidak tahu tahan atau tidak dengan cuacanya yang katanya ekstrem itu. Tinggi semakin tinggi aku terbang. Indonesia sudah di belakang. Selamat jalan semua. Kumohon doakan aku selalu....