Saturday 5 November 2016

Jawaban Sebuah Penantian

Tinggal di negara maju sudah menjadi impianku sejak kelas enam SD. Sejak guruku menerangkan tentang Eropa, hatiku tertambat pada sebuah negeri dengan pegunungan yang mengelilinya, Swiss! Aku tulis besar-besar lima huruf itu di dinding kamar tidur sejak SMP hingga kini. Aku ingin belajar bahkan tinggal di sana. Namun sayang, belakangan aku tahu bahwa jurusan yang aku minati tidak populer di sana. Jurnalistik lebih condong pada Amerika Serikat dan Inggris. Yah, aku memutuskan untuk mengganti tujuan belajarku di Inggris. Adapun Swiss, tetap nomor satu di hatiku.

Dua belas tahun berselang, belum juga ada tanda-tanda aku akan keluar negeri. Sudah puluhan kali pameran pendidikan Eropa aku datangi. Aku comot brosur-brosurnya. Aku amati betul-betul isinya: keindahan alamnya, kokohnya bangunan, orang-orang dari berbagai ras didunia berkumpul jadi satu, semua itu jadi kombinasi yang pas yang aku impikan.

Berhubung aku belum S1, aku menyusun rencana bagaimana caranya agar bisa menjadi sarjana. Tak mudah rasanya. Ini masalah krusial: ekonomi. Aku bisa saja langsung ambil Bachelor degree ke negara manapun. Asal tunjuk, berangkat. Tapi, itu kalau kantongku tebal, ya kan?

Nyatanya Alloh punya rencana lain. Ia mempertemukanku dengan seorang laki-laki yang menjanjikanku berjuang di Australia. Melalui perantara teman ayahku, kami pun bertemu pada bulan Agustus 2015. Proses pertemuan lancar hingga akhirnya pada 15 Oktober 2015, kamipun menikah. Banyak orang bilang aku terlalu cepat memutuskan dan berdasarkan iming-imingnya, Australia. Semua bahkan tahu bahwa aku memang sangat ingin ke luar negeri. Kuperjelas selalu, bahwa aku memilihnya karena dasar testimoni kerabat dan keluarganya bahwa ia orang yang baik dan kuat agamanya. Orang tua setuju, lalu apalagi? Ia belum bekerja waktu itu. Ia dari keluarga yang teramat sederhana. Tampangpun biasa saja. Mengenai Australia, aku anggap itu perantara Alloh untuk mengabulkan doaku!

Setelah menikah kami pun bergegas mengurus segala keperluan untuk ke sana. Aku lah yang akan berangkat duluan dengan visa pelajar. Proses sempat alot ditengah jalan karena terkendala sponsor. Suamiku mempunyai paman yang sudah Permanent Resident disana. Hal itu memudahkan siapapun dari saudaranya untuk bisa sekolah di Australia. Dalam arti dipermudah jika kita mempunyai saudara yang sudah tinggal di Aussie.

Berhubung si paman telah dua kali menjadi sponsor, maka tidak bisa lagi. Melalui rayuan panjang nan melelahkan, akhirnya pamanku yang bekerja di Badan Lingkungan Hidup Surabaya menjadi sponsornya.

Tabungan yang dimiliki pamanku harus lebih dari 400juta. Dan nominal itu minimal ada di rekening tiga bulan terakhir. Alhasil aku menunggu tiga bulan dengan berdoa. Menunggu memang pekerjaan yang membosankan!

Paspor, rekening sponsor, slip gaji, surat rekomendasi kerj, dan sertifikat TOEFL sudah selesai. Di bulan Juli berkasku siap dikirim ke imigrasi. Namun berita buruk menghampiri. Imigrasi Australia tak lagi menerima TOEFL. Maka, penderitaan pun dimulai. Tiga minggu aku berkutat dengan buku dan latihan soal IELTS demi skor 5.5 . Argh, terakhir kali aku membacanya di bulan November 2015, saat les di kampung Inggris, Pare, Kediri. Saking stressnya, berat badanku pun turun. Aku syukuri bagian ini.

Usai melalui tes IELTS pada 30 Agustus 2016, aku harus menunggu tiga minggu untuk menunggu hasilnya. Aku pasrah karena tidak terlalu yakin di bagian speaking. Jikalau nilai IELTS ku tak sesuai harapan, aku siap stress lagi!

Aku tak percaya saat ternyata nilai IELTS ku di atas yang kuharapkan. Bahkan nilai speaking dan writing menjadi dua skor tertinggi. Perasaan tak percaya, haru, bangga campur aduk. Itu akhirnya aku tinggal menunggu kantor kedutaan telepon.

Mengurus visa Australia aku akui tidak mudah. Jalan panjang, berliku, dan stress sempat kurasakan. Di detik-detik terakhir akan wawancara dengan embassy, menjadi waktu penting yang tidak bisa disambi-sambi. Aku rela menjadi pengangguran dan tak meliput untuk menanti sebuah jawaban panjang ini. Sampai akhirnya kedutaan telpon saat aku sedang tidur siang! Bayangkan, aku terbangun dari tidur karena terganggu dengan dering hapeku. Tapi setelah melihat siapa yang telepon, jantungku berdetak lebih cepat dan kantuk seketika hilang, macam orang jatuh cinta. Aku sigap dan tarik napas sebelum bilang 'halo'.

Satu-satu pertanyaan diluncurkan dengan bahasa Inggris. Tibalah pada pertanyaan terakhir yang jawabnnya tidak aku lupakan. Ia menanyakan mata kuliah apa yang nantinya akan aku pelajari. Well, semua panduan baik pertanyaan maupun jawaban sudah aku pelajari dari agenku. Syukurku tak terbilag karena kertas panduan itu ada tepat disebelah kasur, tempat aku tidur. Begitu dapat pertanyaan itu, aku yang belum hapal membuka kertas pelan-pelan pada halaman mata kuliah. Dengan suara terbata-bata aku baca 16 credits itu supaya terdengar sedang mengingat-ingat. Wawancara usai. Aku harus menunggu 21 hari kerja untuk kepastiannya.

Hari-hari galau kulalui dengan murung. Aku membayangkan bagaimana hidupku jika tak jadi berangkat. Apa kata teman dan saudaraku? Pasti mereka tertawa memperolokku. Dibilangnya aku tukang ngimpi. Bekerja? Aku lelah mengirim surat lamaran. Masih mau freelance? ini tak pasti meski tetap ada uang dari suami. Kacau, benar-benar kacau aku saat itu. Bahkan suatu hari aku terlibat pertengkaran dengan ibu karena kesalahpahaman. Aku bicara seenakku tanpa dasar logika yang ujungnya membuat ibu tak mau bicara padaku sampai lima hari, sampai pengumuman!

Yah, pagi itu tepat 5 Oktober 2016, Agen mengirim pesan via Whatsapp. Kabar gembira yang kutunggu-tunggu. Saking tak percayanya, aku baca berulang kali. Aku melompat girang dengan suara lantang. Ibuku yang masih kesal denganku, tiba-tiba bicara padaku. Ah, aku senang sekali. "Belanjanya kapan, mepet nih," kata ibu padaku.

Aku punya waktu 8 hari untuk mempersiapkan semua. Tak perlu bawa baju banyak karena disana disediakan. Sepupu suamiku yang sudah di Sydney bekerja di pabrik pemotongan baju. Setiap ada baju yang masih bagus dan layak selalu ia bawa pulang. Entah untuk suaminya, anaknya, siapapun yang ada. Dia bilang, bajunya banyak.

Yang paling bingung adalah saudara-saudaraku. Mereka ingin memberiku makanan Indonesia. Pasarah saja aku terima aneka makanan itu: pepes, tahu goreng, tempe kering, aneka bumbu jadi, bumbu pecel. Karena keterbatasan bagasi, aku mengalah. Baju-bajuku kupindah ke tas jinjing. Berat juga. Koper paling besar penuh dengan makanan. Camkan itu, makanan! Ditimbang bapak, beratnya mencapai 27 kilo! Okelah, daripada kelebihan muatan.

Hari itu pun tiba. Sebuah taksi online meluncur dan berhenti tepat di depan rumahku. Hujan deras bagai menyimbolkan perasaanku saat itu. Aku tak tahan lagi. Aku menangis di depan ibu karena aku banyak dosa. Kulihat dengan ekor mata, ibu mengusap matanya yang basah berkali-kali. Ini pengalaman pertamaku pergi sangat jauh dari keluarga.

Mereka mengantarku sampai gerbang keberangkatan. Tak ingin tertinggal pesawat, aku segera masuk ke bagian penukaran tiket. Sebenarnya masih satu setengah jam lagi pesawatku berangkat. Karena aku masih ingin berlamap-lama menatap wajah ibu, ayah, adik, dan suamiku. Kakakku tak ikut karena tak ada yang menjemput. Aku berpamitan melalui telepon saja.

Hatiku gusar dan deg-degan sekali. Sudah ada di pelupuk mataku bayangan tentang Australia. Benua empat musim yang aku sendiri tidak tahu tahan atau tidak dengan cuacanya yang katanya ekstrem itu. Tinggi semakin tinggi aku terbang. Indonesia sudah di belakang. Selamat jalan semua. Kumohon doakan aku selalu....

3 comments:

  1. Aaaaakkkkk inspiratif bgt. Good luck ya kak epin... :)

    ReplyDelete
  2. Aaaaakkkkk inspiratif bgt. Good luck ya kak epin... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahhhhhhhh kak aji juga inspiratif kok. amiin... big thanks, you too :)

      Delete